Detail

Blog Image

Setiap 3 Detik, 1 Orang di Dunia Mengalami Demensia “Menyoroti Pentingnya Kesadaran Deteksi Dini Demensia”

Ayu Bulan Febry K D, SKM, MM, (Ka. Instalasi PKRSi RS Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang)

 

Kementerian Kesehatan (Juli 2019) mencatat adanya peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yakni dari 18 juta jiwa (7,6%) pada 2010 menjadi 25,9 juta jiwa (9,7%) pada 2019. Jumlah diprediksi akan terus meningkat hingga 48,2 juta jiwa (15,8%) pada 2035. Peningkatan jumlah penduduk lansia memberikan konsekuensi yang tidak tidak sederhana. Berbagai macam tantangan akibat penuaan penduduk telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk masalah demensia. 

Insiden demensia di seluruh dunia meningkat dengan cepat dan saat ini diperkirakan mendekati 46,8 atau 50 juta orang yang didiagnosis dengan demensia di dunia, 20,9 juta di Asia Pasifik (Alzheimer’s Disease International, World Health Organization, 2017), ada sekitar 10 juta kasus baru setiap tahun. Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada sekitar 1.2 juta orang dengan demensia pada tahun 2016, yang akan meningkat menjadi 2 juta di 2030 dan 4 juta orang pada tahun 2050.

Meskipun demensia bukanlan bagian yang normal dari proses penuaan, akan tetapi tak jarang kondisi ini muncul bersamaan dengan proses pertambahan usia. umumnya  demensia mulai dirasakan ketika kita berada pada usia lanjut, namun seiring dengan perjalanan waktu,  kondisi ini mulai hinggap pula pada usia dewasa muda. Ada kemungkinan kondisi ini disebabkan karena kita kurang waspada akan hal-hal yang bisa mencetuskan munculnya kondisi demensia.  Beberapa hal tersebut yang bisa menjadi  faktor pemicu munculnya kondisi demensia  antara lain, pola hidup yang tidak sehat, kehidupan sosial yang tidak kondusif serta faktor genetik. Pola hidup yang tidak sehat dan kehidupan sosial  yang tidak kondusif bahkan dengan mudah kita jumpai dalam keseharian, misalkan kebiasaan merokok, stres, kurang bisa menjaga pola makan yang sehat, kurang berolahraga, aktifitas yang padat tanpa diimbangi dengan istirahat yang cukup, serta bisa juga disebabkan oleh  kehidupan sosial yang kurang interaktif. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk selalu menjaga keseimbangan dalam berbagai aktifitas yang dilakukan. Kondisi demensia dengan gejala awal yang dulu dipandang sebelah mata ternyata bisa menimbulkan pengaruh psiko sosial yang buruk jika tidak terdeteksi sedari awal serta tidak tertangani dengan baik.

Sekilas tentang demensia yang diulas tadi, mengingatkan kita akan pentingnya untuk deteksi  dini terhadap gejala dari demensia. Karena seringkali seseorang lengah akan tanda dan gejala yang muncul sehingga secara tidak langsung memperparah kondisi yang di alami. Pada tahap awal seseorang yang terkena demensia biasanya tidak memunculkan gejala yang signifikan sehingga biasanya anggota keluarga menjadi kurang waspada. Gejala awal yang seringkali terlihat diantaranya kesulitan untuk fokus terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan, menaruh barang tidak pada tempatnya, kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan mengingat serta banyak tanda dan gejala lainnya. Kondisi seperti ini pada umumnya seringkali dirasa sebagai salah satu penyerta dari pertambahan usia, namun jika kondisi tersebut dibiarkan terus-menerus maka tidak menutup kemungkinan demensia akan menjadi semakin parah.  Nah jika sudah demikian, maka pemahaman dan perhatian dari anggota keluarga yang lain mutlak dibutuhkan.

Selain itu ada cara lain yang juga bisa dilakukan sebagai upaya deteksi dini terhadap demensia yakni dengan menggunakan tes MMSE, dan tes GDS. Mini mental state examiniation atau yang biasa disingkat dengan tes MMSE biasanya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kognitif seseorang mengalami gangguan, Tes ini terdiri dari beberapa pertanyaan dengan hasil akhir yang diklasifikasikan menjadi 3 poin yakni, nilai dengan rentang 24-30 menunjukkan kondisi normal, nilai 17-23 menunjukkan kemungkinan adanya gangguan kognitif, nilai 0-17 menunjukkan adanya gangguan kognitif. Sedangkan tes GDS bisa digunakan untuk mengukur kondisi depresi yang mungkin muncul. Sama hal nya dengan tes MMSE, tes GDS juga menggunakan beberapa pertanyaan yang mana akumulasi dari skor yang ada akan menunjukkan tingkat depresi yang dialami. Rentang nilai 0-10 menunjukkan kondisi normal, nilai 11-20 menunjukkan kondisi depresi ringan, sedangkan nilai 21-30 menunjukkan kondisi depresi berat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa untuk melakukan tes tersebut anda harus didampingi oleh petugas kesehatan yang memang paham akan hal itu. Sebagai tambahan juga perlu dilakukan wawancara terhadap keluarga yang merawat mengenai kemampuan ODD ( Orang Dengan Demensia ) dalam melakukan aktifitas sehari-hari, riwayat penyakit umum yang di derita oleh ODD, riwayat pengobatan klinis yang pernah dilakukan, serta juga perlu dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis.

Terkadang pula kita menjumpai seseorang dengan kondisi demensia yang kesulitan untuk mengontrol emosi dan perilaku, sehingga tidak mengherankan jika acapkali diwarnai dengan “kerikil-kerikil” kecil yang dirasakan oleh anggota keluarga yang merawat.  Jika hal-hal seperti di atas  sudah muncul maka kita sebagai anggota keluarga sudah selayaknya membuka kembali pikiran dan wawasan kita mengenai cara merawat orang dengan demensia. Karena pada dasarnya orang dengan demensia tidak hanya membutuhkan bantuan dalam perawatan diri dan aktifitas sehari-hari tetapi lebih dari itu mereka juga butuh untuk dipahami. Suatu waktu mereka melakukan sesuatu yang akan membuat kita marah atau jengkel, tetapi yang harus diingat adalah apa yang mereka lakukan sebenarnya di luar kontrol kesadaran mereka. Menumpahkan air di lantai, marah tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas, atau menangis menjerit tanpa sebab adalah beberapa contoh perilaku yang terkadang spontan terlihat pada orang dengan kondisi demensia.

Sesuai pemahaman sebelumnya bahwa demensia tidak hanya menimbulkan gejolak bagi si penderita, tetapi di lain sisi ada anggota keluarga, suami, istri ataupun anak-anak yang turut merasakan dampak yang ditimbulkan dari kondisi ini. Sekarang  coba kita renungkan bagaimana rasanya jika salah satu anggota keluarga mengalami kondisi yang demikian. Sebut saja misalnya yang mengalami kondisi ini adalah suami. Maka seluruh anggota keluarga akan mulai merasakan perbedaan yang ada, dimana sebelumnnya seseorang yang dulunya dikenal sebagai sosok yang tegas serta berwibawa di dalam keluarga dan tiba-tiba mengalami perubahan yang bisa jadi merupakan ciri dari kondisi demensia. Sosok yang dulunya berperan sebagai kepala keluarga sekaligus sebagi penopang kebutuhan keluarga tiba-tiba tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka di titik ini lah “kerikil-kerikil” tersebut mulai bisa dirasakan. Sudah pasti harus ada anggota keluarga lain yang bisa menggantikan peran tersebut. Belum lagi jika kondisi demensia diperparah dengan penurunan kemampuan fisik, maka besar kemungkinan sebagian waktu yang ada akan digunakan untuk membantu si penderita dalam melakukan kebutuhan sehari, misalnya toileting, makan, berpakaian dll. Nah, kita tentu tidak menginginkan hal seperti ini terjadi pada diri ataupun anggota keluarga yang lain. Akan tetapi dengan ilustrasi di atas, kiranya cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi demensia bisa memberikan pengaruh tak hanya bagi diri si penderita tetapi juga bagi orang lain.

Oleh karena itu kesadaran akan pentingnya deteksi dini serta stigma tentang demensia sudah seharusnya mulai ditumbuhkan, sebab dengan berjalannya waktu kondisi ini tidak hanya menyerang warga lansia, tetapi tanda dan gejalanya juga sudah mulai bisa dirasakan pada usia dewasa atau yang sering disebut sebagai “early onset demensia”.

Dengan demikian tentu sudah tak ada alasan lagi bagi kita semua untuk segera menerapkan kembali pola hidup yang sehat dengan senantiasa menjaga keseimbangan jiwa dan raga. Selain itu dengan mengetahui lebih dini gejala yang ada diharapkan bisa mencegah munculnya kondisi demensia, menghambat progresivitas yang ada serta membantu penderita dan keluarganya untuk menghadapi pengaruh psikososial yang ditimbulkan dengan cara yang bijak.

 

Sumber  Pustaka:

https://databoks.katadata.co.id tentang Jumlah Penduduk Lansia Diprediksi Capai 48 Juta Jiwa pada 2035

https://alzi.or.id/statistik-tentang-demensia

Kategori

Terkini

Tags

Testimonials